Seputih Salju Selembut Sutra
( Marifa Kurniasari )

Mentari mulai terbangun dari tidurnya yang lelap. Merangkak perlahan  sembari memancarkan cahaya yang menerobos masuk tirai jendela kamarku tanpa permisi. Membangunkanku dari penyelaman mimpi dasar samudra. Mengerjapkan mata beberapa kali hingga mata ini benar-benar terbuka sempurna, tapi badan ini masih teramat malas untuk beranjak dari kasur yang seolah bergravitasi kuat.
Setelah beberapa menit malas untuk beraktivitas, akhirnya aku putuskan untuk mengganti baju dan berlari ke halaman rumah. Melakukan pemanasan sebelum basket. Ya! itu aktivitas rutinku selama akhir pekan. Ditemani Zack, tetangga sekaligus sahabatku dari kecil. Sekitar 5 menit setelah aku memulai pemanasan, dia baru datang, tapi dengan jersey yang sudah basah.
“Baru bangun Fay? Padahal aku udah keliling kompleks dua kali.” Ia berlari mendekat lalu menjitak kepalaku. Menyebalkan bukan? Tapi dia sahabatku yang paling setia. “Woy buruan main! Keburu panas ntar!” teriaknya yang sudah memegang bola. Aku pun berlari ke lapangan basket kecil di halaman rumahku ini.
Saat waktuku bersamanya seolah semua berjalan dengan begitu cepatnya. Tak terasa terik matahari semakin menyengat. “Fay, Zack! Sarapan sini, udah siang! Jangan makan bola basket terus!” panggil mama dari pintu. “Bentar lagi, Ma! 5 menit lagi,” kataku sambil terus men-dribble bola. “Heh! 5 menitmu itu molor bisa sampe 1 jam! Mau maagmu kambuh ha?” omel Zack dengan tangan yang mulai menarik tanpa ada ampun. Mama melihat tingkah Zack hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Alhasil, kami pun sarapan bersama dengan wajahku yang terlipat.
Akhir pekanku bersama keluarga juga Zack hanya berlangsung hingga pukul 10 pagi. Setelah itu kami sibuk dengan urusan kami masing-masing. Waktuku setelah jam itu adalah menyendiri di tempat yang telah disediakan khusus untukku. Balkon kamar yang didesain sedemikian rupa. Tempat aku menyalurkan hobiku yang lain. Tempat untukku menyendiri dan meluapkan apa saja yang ada dalam benakku.
drrrt…drrrt…drrrt 
Ponselku bergetar. Sebuah pesan mendarat. Pesan dari mama yang sudah berangkat menemui kliennya di akhir pekan. Pesan mama yang satu ini adalah alarm otomatisnya. Mengingatkanku akan satu hal yang sangat penting bagiku. Segera aku balas pesan mama dengan emot cium. Untuk hal yang satu ini, aku sulit untuk membangkang.
***
Cuaca hari ini benar-benar tak menentu, baru beberapa menit yang lalu matahari bersemangat menyinari, tapi sekarang ia terkalahkan gelapnya awan kelabu. Tak dapat ditawar lagi, rintik hujan turun membasahi bumi. Aku suka hujan terutama saat semua orang yang aku sayangi ada di sekelilingku. Pasti akan ada kehangatan di antaranya. Sayangnya, kali ini hujan turun disaat yang tak tepat untuk kehangatan itu. Hingga ranjang pun memancarkan gravitasi terkuatnya dan aku mulai terlelap.
Terbangun dari tidur yang nyenyak dengan panggilan sinar matahari sore. Warnanya yang anggun menarikku untuk keluar dari ruangan ini menuju balkon. Semburat jingga yang begitu menawan dengan udara yang masih sedikit menusuk kulit, sangat rugi untuk dilewati.
Tok tok tok  … pintu diketuk oleh seseorang. Aku melangkah membukakan pintu. “Ayah!!! Aku rindu Ayah!” teriakku histeris melihat ayah yang ada di depan pintu. Ayah bekerja di luar kota selama sepuluh tahun belakangan ini yang membuatku jarang berjumpa dengannya. “Ayah juga rindu Fay, gimana Fay? Agenda rutinnya nggak ada yang kelupaan kan?” Tanya ayah memastikan kondisiku. “Pasti dong, Yah.” Jawabku semangat. Aku memang sudah duduk di bangku SMA kelas tiga, tapi aku masih manja dengan ayahku. Mungkin karena aku juga anak tunggal di keluarga ini. Intinya aku sayang ayah dan mama. Aku tak mau kehilangan mereka.
Aku dan ayah pergi ke taman dekat kompleks perumahan ini. Benar-benar romantisnya ayah dan anak menurutku karena aku sudah jarang bisa seperti ini. Berjalan bersama dengan penuh canda tawa. Aku bahagia. “Fay, Ayah berangkat lagi keluar kota besok Senin, Kamu mau Ayah beliin apa? Atau mau ngenalin Ayah pacar Kamu gitu?” Tanya ayah sambil menggodaku. “Ih Ayah apaan sih! Nggak ada pacar! Males deh kalo Ayah nanya pacar terus,” omelku yang mulai cemberut. “Maaf maaf, Ayah kan cuma nanya, siapa tahu ada yang berhasil naklukin hati putri kesayangan Ayah ini.” Balas ayah sambil tertawa renyah.
Senja yang sempurna. Keluargaku lengkap setelah semua sibuk dengan urusan masing-masing. Malam ini kami mengundang keluarga Zack dalam pesta kecil peringkatan ulang tahun yang ke-19 pernikahan ayah dan mama. Kami bersenda gurau hingga semua terlelap tanpa sadar.
***
Pagi-pagi sekali aku membuka ponsel dimana terdapat pesan yang mendarat dari salah satu grup. Ajakan untuk mendaki gunung. Sudah lama aku menginginkannya, tapi ayah dan mama selalu saja melarangku untuk ikut. Dan pikiranku tiba-tiba tertuju pada Zack. Ku cari kontaknya di ponselku. Jariku mulai menari lihai di atas layar, lalu ku kirimkan selayang pesan itu. Tak perlu waktu lama Zack membalasnya hingga masalah ini mendapatkan jalan keluarnya. I love you, Zack! Batinku sambil tersenyum puas disusul imajinasi yang mulai melayang.
Dari pagi yang masih sedikit larut tadi, aku rasa sudah berjam-jam aku melakukan hobiku di kamar ini. Namun, matahari tak kunjung mengetuk jendelaku. Akhirnya aku putuskan untuk mengintip ke arah luar jendela. Pantas saja masih gelap, matahari sedang malu kali ini. Awan gelap menyelimutinya hingga ku rasa hampir seluruh kota ini mendung. Aku melangkah dan menjatuhkan diri di tempat tidur. Ku tarik sebuah novel dari atas nakas, salah satu oleh-oleh dari ayah kemarin.
Awan tampaknya udah tak sanggup lagi menahan hujan. Sama seperti mataku yang menjadi tak tahan untuk terus terbuka karena rintik hujan seolah menyayikan alunan lagu tidur untukku. Belum sempurna mata ini menutup, terdengar suara ketukan pintu. Ayah dan mama masuk ke kamarku membawa semangkuk sereal dan segelas susu.
“Astaga Fay, pagi-pagi kamar kamu udah kaya kapal pecah. Buku dimana-mana, kertas bertebaran, kamu gadis lho Fay, beresin dong. Gimana doi mau sama kamu kalau kamunya kaya gini, Fay,” goda ayah sambil menggelengkan kepalanya terheran. “Iya, Ayah, iya, nanti aku beresin kok,” balasku sambil cengengesan. “Tuh Yah, bilangnya nanti, ujung-ujungnya nggak diberesin. Yang beresin malah Mama.” Ucap mama sambil mencubit hidungku. “Eh, Fay, nggak boleh gitu ah. Beresin sebentar lagi, oke?” kata ayah mulai melangkah meninggalkan kamarku. Aku hanya mengangguk sembari mengambil buku lagi dari rak buku.
Menjatuhkanku diri ke atas ranjang yang masih bertebaran buku mapel ujian dan bacaan hiburan. Ku buka pesan yang sudah melayangkan imajinasi ini. Di bawahnya terdapat sebuah notifikasi baru. Waktu pendakian hanya berselang beberapa hari setelah Ujian Nasional SMA berlangsung. Itu artinya tak lama lagi waktu itu tiba. Tinggal ku pikirkan apakah rencanaku berhasil atau tidak. Semoga saja.
***
Tak ku sangka semua ujian berlalu begitu saja. Termasuk ujian masuk universitas favorit yang aku dan keluargaku impikan sejak dulu, walaupun jujur ada seberkas keraguan yang tersirat di benakku. Setelah terfokus pada semua makanan dan vitamin tambahan menuju rentetan ujian itu, akhirnya pikiran kini hanya terfokus pada pendakian.
Sore ini begitu indah rasanya, meskipun hanya ada aku dan mama. Ayah belum pulang lagi sejak beberapa bulan yang lalu itu. “ Fay, makan di luar yuk! Mama lagi males masak,” kata mama yang  tiba-tiba muncul di depan pintu kamarku. “Bentar Ma, aku siap-siap dulu,” aku mulai beranjak dari kursiku.
Kali ini kami makan di sebuah restoran yang menawarkan panorama senja yang begitu menawan. Terdengar di meja-meja lain suara dentingan pelan diselingi canda kebahagiaan. Pastinya hal itu juga terjadi di meja tempatku makan, hingga ponsel mama berbunyi.
“Fay, tadi Ayah yang telfon, Ayah minta kita mengunjunginya minggu depan, kamu bisa nggak?” ucap mama yang membuatku tersedak. Minggu depan aku ada acara pendakian itu. Mau tak mau aku harus bilang sekarang dengan permohonan ijin bersentuh kebohongan. “Aduuh… gimana ya Ma, minggu itu aku sama Zack sama temen yang lain ada acara juga. Temenku ngajakin kita ke rumahnya di deket pantai, dia abis itu mau ke Jepang ikut Ayahnya. Ini semacam farewell party gitu. Gimana ya, Ma?” jelasku sambil berusaha senormal mungkin. “Ya udah, ngga papa kamu ngga ikut dulu, tapi inget ya, jadwal rutin kamu juga minggu itu, mama udah berangkat.” Mama menjawab tanpa curiga, nafasku terasa ringan sekarang. “Oke deh Ma,” balasku dengan senyuman. “Udah kelarkan makannya? Obatnya diminum ya bentar lagi,” kata mama mengingatkan yang hanya ku balas dengan anggukan.
***
“Mama berangkat dulu ya, Fay. Kamu hati-hati dan jaga kesehatan ya.” kata mama sambil menarik kopernya. “Oke, Ma,” balasku singkat sambil melambaikan tangan. Setelah mobil mama melaju, aku berlari ke kamar dengan bahagia. Aku mulai packing  barang-barang apa saja yang akan aku bawa. Menelitinya beberapa kali agar tidak ada yang terlupa.
Siangnya, aku dan yang lain berkumpul dan memulai perjalanan. Entah mengapa, aku merasa ada yang janggal denganku, tapi aku tak tau apa itu. Perasaanku menjadi tak nyaman dan benar-benar gelisah. Aku terus berusaha mengingat semua barang bawaan yang harus ku bawa dan mengecek apakah ada atau tidak. “Nyari apaan sih Fay? Ada yang kelupaan?” Tanya seorang temanku. “ Iya nih, rasanya kaya ada yang ketinggal, tapi aku cek kayanya ada semua.” Balasku dengan perasaan campur aduk. “Ya udah, Fay. Kita bisa bagi-bagi nanti kalo missal ada yang kelupaan. Atau nanti di deket tempatnya, kita bisa beli.” Katanya sambil menenangkanku. “Oke deh, makasih ya udah nenangin.” Balasku sedikit lega, walaupun masih ada yang terasa aneh. Ia hanya membalas dengan senyuman manis. Aku hanya berusaha menenangkan diri.
Setelah beberapa waktu perjalanan, kami tiba di dekat camp pendakian. Kami mendaki sekitar 2 jam lagi, sehingga kami putuskan untuk menunggu di sini sambil ishoma dan mendengarkan penjelasan dari pemandu kami. “Semuanya masuk dan makan dulu cepat! Setelah itu kalian berkumpul di luar untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut!” teriak Zack pada semua anak. Bersama yang lain, aku juga memasuki bangunan itu. Menu makanannya sederhana, tapi benar-benar terasa nikmat karena kebersamaan dan canda tawa mengiringi kami semua. Seusai makan aku membuka tas untuk mengambil barang. Deg!!! Aku lupa membawa obatku! Ini yang dari tadi mengganjal pikiranku. Aku takut terjadi sesuatu yang tak ku inginkan. Aku tak pernah melewatkan obat itu dari dulu, hal itu yang membuatku masih dapat beraktivitas secara normal. Juga rutin cek ke dokter dan melakukan kegiatan yang harus ku lakukan secara rutin. Bagaimana ini? Aku benar-benar cemas. “Fay, kenapa cemas lagi?” Zack mendekatiku dari ujung lain. “Obatku tertinggal, sepertinya di atas tas, dan saat aku gendong tas itu, obatnya terjatuh,” jelasku sedikit ragu. “Kamu jaga saja pola makanmu, jangan sampai telat.” Ia mulai sedikit cemas. Dia tak tau apa penyakitku yang sebenarnya, ini bukan perkara penyakit maagku, tapi yang jauh lebih bahaya dari itu. “Oke Zack, oh iya, nanti tunggu aku kalau nanti aku tertinggal,” kataku pesimis “Kamu pasti kuat kok, lari aja kuat, nanti aku bantu,” ia menepuk pundakku menyemangati.
Aku dan rombongan mulai mendaki gunung setelah semua penjelasan tersampaikan. Awal dari jalur pendakian ini masih berjalan dengan mulus. Aku juga belum merasakan apa pun, semua terasa baik-baik saja. Sekitar tiga setengah jam kaki ini melaju, aku mulai merasakan hal yang tak enak. Ginjalku mulai tak normal, mulai muncul rasa nyeri yang menyiksa. Ku lihat yang lain tampak mengelap keringat yang bercucuran. Medan juga kian sulit untuk ditempuh. Zack tampak mengacungkan kepalan tangan ke udara menyemangati. Aku tersenyum hambar untuk itu, rasa sakitnya semakin menyiksa, dan langkahku kini mulai melambat. Kini posisiku di bagian paling belakang dari rombongan. “Kita berhenti di sini dulu! Istirahat sebentar, lalu kita lanjutkan perjalanan!” seru pemandu rombangan.
Aku sedikit bernafas lega mendengarnya, walaupun rasa sakit ini kini benar-benar menusuk. Aku meminta Zack untuk memegang tasku sebentar. Tanpa sengaja ku dapatinya menemukan secarik kertas, membacanya, dan tampak terkejut. Dia mulai tampak membuka mulutnya, belum sempurna ia berbicara, aku  mundur beberapa langkah sambil memegangi perutku. Sayangnya, baru sepatah kata yang Zack ucapkan, aku sudah terjatuh tak kuasa menahan sakit dan hanya ku rasakan badanku terguling. Hingga semua tampak gelap.
***
Aku mencoba membuka mataku berkali-kali sekuat tenaga. Rasanya sulit sekali. Teramat sulit. Saat mata ini terbuka sempurna, aku melihat semua serba putih. Aku dimana? Batinku. Ku coba untuk mengingat rekaman kejadian di otakku. Apa yang membuatku berada di sini? Ah, iya. Kecelakaanku saat pendakian.
Ku merasakan kehangatan di ujung tanganku. Mama. Aku melihat mama di sana, di kursi tampak Zack dan Tante Vero yang juga terlelap. Badanku terasa sangat pegal, hingga aku mencoba memperbaiki posisiku tidur. Rasanya sakit. Gerakanku tiba-tiba membuat mama terbangun. “Fay? Kamu udah sadar?” ucap mama dengan air mata yang mulai berlinang. Ucapan mama membangunkan Zack dan Tante Vero. Mereka tampak bahagia melihat aku sadar. “Ma, Fay sudah berapa lama di sini?” tanyaku pelan. “Dua minggu Fay,” jawab mama singkat. Mataku seperti membulat sempurna. “Oh iya, Ma, Ayah di mana? udah balik kerja lagi ya?” tanyaku mencari-cari. Suasana menjadi hening beberapa saat, hingga mama mulai membuka mulutnya. “Ayah sama Mama setelah mendengar kejadianmu langsung ke sini. Sejujurnya kami sempat kecewa kenapa kamu ngga jujur sama Ayah sama Mama, tapi akhirnya kami memahami kamu. Ayah meninggalkan surat ini untukmu.” Ucap Mama sembari mengeluarkan kertas. Tante Vero mendekati mama dan memeluknya juga Zack yang mendekat padaku. Aku buka kertas itu perlahan.

Untuk Putri Sematawayangku,
Anaya Fayla Kirana, kamu adalah bidadari terindah yang dititipkan untuk Ayah dan Mama. Kebahagiaan yang menyelimuti kami adalah ketika melihatmu tumbuh dan berkembang dengan ceria. Ayah tak mau kamu kehilangan keceriaan itu dengan cepat. Kerja keras ayah selama ini untuk kamu. Ayah tak mau kerja keras ayah tak begitu berkesan untukmu karena banyaknya waktu Ayah di luar kota. Ayah mau kamu kejar mimpi-mimpi yang dari dulu menjadi impian besarmu. Untuk itu, Ayah rela mengorbankan segala yang Ayah punya untukmu. Fay, satu ginjal ayah sudah ayah berikan untuk adik ayah, tapi ia sekarang sudah tiada karena kecelakaan pesawat kala itu. Dan kali ini, putri kesayangan ayah membutuhkan ginjal ayah karena hanya ayah yang memiliki kecocokan dengan Fay, ayah dan mama tidak menemukan orang yang memiliki ginjal yang cocok untukmu dalam waktu singkat untuk menyelamatkan nyawamu. Akhirnya, ini keputusan yang ayah ambil. Ayah masih ingin putri ayah menikmati masa mudanya dengan kebahagiaan. Fay, jangan nangis ya. Temenin Mama kamu dengan penuh rasa sayang. Ayah di sana bahagia kalau melihat kalian bahagia dan kamu meraih mimpimu. Suatu saat kita akan bertemu lagi Fay. Selamat tinggal Fay…
Salam Sayang,
Ayah


Air mataku menetes tak terkendali. Aku tak menyangka Ayah mengorbakan nyawanya untuk kecerobohan dan keegoisan yang ada dalam diriku. Aku ingin berteriak, namun tampaknya lidah ini teramat kelu untuk aku menyeru sesuatu. Aku hanya bisa menuangkan segala emosi dalam diriku melalui air mata. Memutar memori indah yang telah tersimpan sekian tahun lamanya.

Aku merasakan kehangatan di pundakku. Mama memelukku erat. “Fay, kita harus lewati semua dengan tegar, ini sudah jalan yang Tuhan beri untuk kita, kita pasti bisa melewati semuanya.” Ucap mama dengan menahan air mata yang siap meluncur bebas, tapi mama berusaha untuk tetap terlihat tegar. Akhirnya, aku putuskan untuk mulai tersenyum dan menerima keadaan yang pada kenyataannya teramat pahit. Zack menatapku dengan senyuman yang manis, seolah turut berbahagia akan ketegaran yang ada dalam diriku.
***
Satu bulan dari duka yang sebenarnya masih ku rasa, hari ini aku merasa sangat bersyukur. Siang tadi, aku dan mama menghadiri hari kelulusanku di sekolah. Hasilnya adalah nilaiku yang menurutku sendiri sudah sangat memuaskan dan dinyatakan lulus. Mama begitu bahagia hingga memelukku erat tanpa memberi sela untuk bernafas selama beberapa detik. Juga informasi tentang pengumuman pendaftaran universitas memberiku kabar baik beberapa waktu lalu. Tentu saja informasi baik itu adalah aku diterima di universitas tersebut. Universitas yang sempat membuatku pesimis saat mau mendaftarkan diri.
“Fay, kita ke makam Ayah yuk, sebelum matahari tenggelam,” ajak mama sambil mengusap puncak kepalaku. “Ayo, Ma,” balasku singkat. Tak butuh waktu lama untuk datang ke makam ayah. Hanya sekitar dua puluh menit dengan kendaraan bermotor.
Setibanya di sana, mama mulai membersihkan dedaunan kering yang sedikit berserak di atas nisan ayah. Aku duduk dan mulai berdoa beberapa menit. Seusainya, aku mulai bercerita dalam diam.
Ayah, Fay nggak tau lagi apa yang harus Fay katakan untuk Ayah. Berkat Ayah, Fay bisa meraih berkas-berkas mimpi Fay. Ayah, pasti Ayah tahu kan, meskipun Fay jarang bertemu, tapi Fay sangat sayang sama Ayah, meskipun memori yang Ayah beri tak sebanyak mama. Makasih Yah, pengorbanan Ayah untukku sangat dan tak terhingga lagi nilainya. Kasih sayang Ayah, seputih salju selembut sutra setulus sang Surya. Aku janji akan melakukan yang terbaik untuk ayah dan mama.